Sabtu, 19 November 2011

Ahli Waris dalam Islam

AHLI WARIS: MACAM-MACAM DAN HAK-HAK WARISANNYA

SERTA

FURÛDH AL-MUQADDARAH DAN ASHÂB AL-FURÛDH

Makalah (REVISI)

Disampaikan Untuk Memenuhi Tugas dan Seminar Kelas

Mata Kuliah Fiqh Muamalah dan Mawaris

Dosen Pengampu:

Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, M.A




Oleh :

M U K H T A R

NIM. 075112048

PROGRAM PASCASARJANA

IAIN WALISONGO SEMARANG

@ 2008


KATA PENGANTAR

بســم الله الرحمن الرحيم

Puji dan syukur kehadirat Allah Swt. atas segala nikmat yang telah diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, karenanya semoga nikmat-nikmat tersebut dapat digunakan pada tempat yang sesuai dengan tujuan penganugerahannnya dibarengi dengan syukur baik dengan ucapan, hati, dan perbuatan. Demikian pula shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan alam Nabi Muhammad saw. Kepada keluarganya, para sahabat dan pengikutnya yang setia sampai akhir zaman. Âmien yâ Rabbal ‘Âlamîn.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kapada Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, M.A. selaku dosen pengampu mata kuliah Studi Fiqh (Fiqh Mua’amalah dan Mawaris), yang telah memberikan bimbingan dan pelajaran yang sangat berharga pada penulis dalam upaya memahami secara konprehensif dan aplikatif tentang Fiqh Muamalah terutama yang terkait dengan sistem ekonomi Islam yang memiliki karakteristik tersendiri; juga tentang Fiqh Mawaris dan segala atribut dan problematikanya, cara perhitungan dan penyelesaian pembagian waris. Makalah ini merupakan sebagai hasil revisi makalah penulis yang telah dipresentasikan pada tanggal 27 Mei 2008. Penulis pun menyadari dalam merevisi makalah ini –berdasarkan masukan dan saran dari Bapak Dosen Pengampu dan teman-teman–, masih perlu penyempurnaan lebih lanjut, baik dari segi teknis penulisan maupun konten makalah; karena “Tak ada gading yang tak retak”.

Akhirnya hanya kepada Allah jualah semuanya penulis serahkan, semoga sumbangsih sederhana ini bermanfaat bagi pengembangan wawasan dan keilmuan kita dalam bidang hadits dan segala atributnya. Semoga Allah memberikan kepada kita semua semangat dan kemauan untuk tetap mengkaji hadits/sunnah dengan cermat dan menjadikannya sebagai sumber hukum Islam setelah al-Qur’ân. Amîn yâ Rabbal ‘Âlamîn.

Semarang, Juni 2008

Penulis


AHLI WARIS: MACAM-MACAM DAN HAK-HAK WARISANNYA

SERTA FURÛDH AL-MUQADDARAH DAN ASHÂB AL-FURÛDH

Oleh: Mukhtar (0751128048)

A. PENDAHULUAN

Syari’at Islam telah meletakkan aturan kewarisan dan hukum mengenai harta benda dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Agama Islam menetapkan hak milik seseorang atas harta, baik laki-laki atau perempuan melalui jalan syara’, seperti perpindahan hak milik laki-laki dan perempuan di waktu masih hidup ataupun perpindahan harta kepada para ahli warisnya setelah ia meninggal dunia.[1] Islam tidak mendiskriminasikan antara hak anak kecil dan orang dewasa. Kitabullah yang mulia telah menerangkan hukum-hukum waris dan ketentuan masing-masing ahli waris secara gamblang, dan tidak membiarkan atau membatasi bagian seseorang dari hak kewarisanya.[2] Al-Qur’an al-Karîm dijadikan sandaran dan neracanya. Hanya sebagian kecil saja (perihal hukum waris) yang ditetapkan dengan Sunnah dan Ijma’. Di dalam syari’at Islam tidak dijumpai hukum-hukum yang diuraikan oleh al-Qur’an al-Karîm secara jelas dan terperinci sebagaimana hukum waris.

Hukum kewarisan Islam merupakan salah satu bentuk perhatian Islam tehadap pemeliharaan harta peninggalan seseorang muslim. Di samping itu, hukum kewarisan Islam merupakan realisasi dari perintah al-Qur’an untuk tidak meninggalkan ahli waris (keturunan) yang lemah.[3] Rangkaian pengertian dan ketentuan yang ada dalam hukum kewarisan merupakan hukum aplikatif, bukan teoritik.[4] Artinya hukum kewarisan memiliki fungsi yang bersifat futuristik terhadap sebuah keluarga.[5]

Membicarakan kewarisan (farâidh) berarti membicarakan hal ihwal peralihan harta dari orang yang telah mati sebagai pemberi waris (al-muwarris) kepada orang yang masih hidup sebagai ahli waris (al-wâris). Artinya warisan merupakan esensi kausalitas (sebab pokok)[6] dalam memiliki harta, sedangkan harta merupakan pembalut kehidupan, baik secara individual maupun secara universal. Dengan harta itulah jiwa kehidupan selalu berputar.

Dalam Islam, ahli waris baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama secara proporsional, sebagaimana diterangkan dalam al-Quran; meskipun secara aplikatif-kondisional, para ahli hukum Islam berbeda pandangan. Katakanlah di Indonesia misalnya, Prof. Hazairin dengan teori “bilateral”[7]-nya dan Munawir Syadzali dengan “Reaktualisasi Hukum Islam”[8]-nya, menghendaki adanya “kesejajaran antara laki-laki dan perempuan” dalam hak-hak kewarisan yang jelas-jelas melawan arus hukum al-Qur’an yang ada dan sudah mapan. Namun, dalam hal ini penulis akan membahas ahli waris dan segala atributnya sebagaimana yang diterangkan dalam al-Qur’an, as-Sunnah dan kesepakatan para ulama, bukan pandangan para ahli tersebut (karena hal tersebut akan dibahas tersendiri oleh pemakalah yang lain).

B. KONSEP AHLI WARIS: MACAM-MACAM DAN HAK-HAKNYA

1. Pengertian Ahli Waris

Kata “ahli waris” dalam bahasa arab disebut “الوارث “ –yang secara bahasa berarti keluarga–tidak secara otomatis ia dapat mewarisi harta peninggalan pewarisnya yang meninggal dunia.[9] Karena kedekatan hubungan keluarga juga dapat mempengaruhi kedudukan dan hak-haknya untuk mendapatkan warisan. Terkadang yang dekat menghalangi yang jauh, atau ada juga yang dekat tetapi tidak dikategorikan sebagi ahli waris yang berhak menerima warisan, karena jalur yang dilaluinya perempuan.

Sedangkan pengertian ahli waris (الوارث ) secara istilah adalah orang yang menerima atau memiliki hak warisan dari tirkah (harta peninggalan) orang yang meninggal dunia (pewaris).[10] Untuk berhaknya dia menerima harta warisan itu diisyaratkan dia telah dan hidup saat terjadinya kematian pewaris. Dalam hal ini termasuk pengertian ahli waris janin yang telah hidup dalam kandungan, meskipun kepastian haknya baru ada setelah ia lahir dalam keadaan hidup.[11] Hal ini juga berlaku terhadap seseorang yang belum pasti kematiannya.[12] Tidak semua ahli waris mempunyai kedudukan yang sama, melainkan mempunyai tingkatan yang berbeda-beda secara tertib sesuai dengan hubungnnya dengan si mayit.

2. Macam-macam Ahli Waris dan Hak-haknya

Ahli waris itu ada yang ditetapkan secara khusus dalam al-Qur’an dan langsung oleh Allah dalam al-Qur’an dan oleh Nabi dalam hadisnya; ada juga yang ditentukan melalui ijtihad dengan meluaskan lafaz yang terdapat dalam nash hukum dan ada pula yang dipahami dari petunjuk umum dari al-Qur’an dan atau hadis Nabi.[13] Artinya para ahli waris yang mempunyai hak waris dari seseorang yang meninggal dunia –baik yang ditimbulkan melalui hubungan turunan (zunnasbi), hubungan periparan (asshar), maupun hubungan perwalian (mawali)– dapat dikelompokkan atas dua golongan, yakni (1) ahli waris yang hak warisnya mengandung kepastian, berdasarkan ittifaq oleh para ulama dan sarjana hukum Islam, dan (2) golongan yang hak warisnya masih diperselisihkan (ikhtilâf) oleh para ulama dan sarjana hukum Islam.[14]

Macam-macam ahli waris dapat diklasifikasikan dengan rumusan beragam sesuai dengan sudut pandangnya; ada yang mengelompokkan dari sudut sebab-sebabnya, bagian-bagian yang diterimanya, jauh dekatnya hubungan kekerabatan, dan dari sudut pandang jenis kelamin ahli waris itu sendiri.

Adapun macam-macam ahli waris ditinjau dari sebab-sebabnya, dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu:

1. Ahli waris nasabiah, yaitu ahli waris yang hubungan kekeluargaannya timbul karena hubungan darah; artinya orang yang berhak memperoleh harta waris karena ada hubungan nasab[15] dengan orang yang meninggal dunia.

2. Ahli waris sababiyah, yaitu hubungan kewarisan yang timbul karena suatu sebab tertentu, yaitu:

ü hubungan perkawinan yang sah (al-musâharah) dan masih berjalan (tidak bercerai) pada saat suami atau isteri meninggal dunia (QS. 4:12).

ü memerdekakan hamba sahaya (al-walâ) atau karena adanya perjanjian tolong menolong.[16]

(Kedua kelompok ahli waris tersebut akan penulis terangkan lebih rinci pada bagian yang lain).

Apabila dilihat dari segi bagian-bagian yang diterima mereka, ahli waris dapat dibedakan kepada:

1. Ahli waris ashâb al-furûdh, yaitu ahli waris yang menerima bagian yang besar kecilnya telah ditentukan dalam al-Qur’an, seperti 1/2, ¼, 1/8, 1/3, 1/6 dan 2/3.

2. Ahli waris ‘ashabah, yaitu ahli waris yang bagian yang diterimanya adalah sisa setelah harta waris dibagikan kepada ahli waris ashâb al-furûdh.

3. Ahli waris zawi al-arhâm, yaitu ahli waris yang sesungguhnya memiliki hubungan darah, akan tetapi menurut ketentuan al-Qur’an tidak berhak menerima warisan.[17]

Apabila ahli waris dilihat dari jauh dekatnya hubungan kekerabatan, sehingga yang dekat lebih berhak menerima warisan daripada yang jauh, dapat dibedakan menjadi:

1. Ahli waris hâjib, yaitu hali waris yang dekat yang dapat menghalangi ahli waris yang jauh, atau karena garis keturunannya yang menyebabkannya dapat menghalangi ahli waris yang lain.

2. Ahli waris mahjûb, yaitu ahli waris yang jauh yang terhalang oleh ahli waris yang dekat hubungan kekerabatannya. Ahli waris ini dapat menerima warisan, jika yang menghalanginya tidak ada.[18]

Sedangkan apabila ahli waris dilihat dari jenis kelamin yang berhak menerima warisan, baik ahli waris nasabiyah maupun sababiyah seluruhnya ada 25 orang, yang terdiri dari 15 orang ahli waris laki-laki dan 10 orang ahli waris perempuan. Sedangkan menurut Ibnu Ruysd dalam “Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtasid” hanya terdiri darai 17 orang, yang terdiri dari 10 orang ahli waris laki-laki dan 7 orang ahli waris perempuan;[19] hal ini dikarenakan ada beberapa ahli waris yang dijadikan satu dengan sebab kesamaan kedudukannya dalam menerima waris.

1. Ahli waris menurut jenis kelamin laki-laki ( الوارثون ), yaitu:[20]

a. Anak laki-laki ( الابن )

b. Cucu laki-laki dari anak laki-laki ( ابن الابن) dan seterusnya ke bawah

c. Bapak (الأب )

d. Kakek dari bapak (الجد من جهة الأب ) dan seterusnya ke atas

e. Saudara laki-laki sekandung (الاخ الشقيق )

f. Saudara laki-laki sebapak (الاخ للأب )

g. Saudara laki-laki seibu (الاخ للام )

h. Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung (ابن الاخ الشقيق )

i. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak (ابن الاخ للأب )

j. Paman sekandung (العم الشقيق )

k. Paman sebapak (العم للأب )

l. Anak laki-laki paman sekandung (ابن العم الشقيق )

m. Anak lakai-laki paman sebapak (ابن العم للأب )

n. Suami ( الزوج )

o. Orang laki yang memerdekakan mayit ( المعتق).

Bila ahli waris laki-laki tersebut berkumpul (ada semua), maka yang berhak menerima warisan hanyalah anak laki-laki, bapak, dan suami.

2. Ahli waris menurut jenis kelamin perempuan ( الوارثات ), yaitu:

a. Anak perempuan (البنت )

b. Cucu perempuan dari anak laki-laki ( بنت الابن ) dan seterunya ke bawah

c. Ibu ( الام )

d. Ibu dari bapak (الجدة من جهة الأب )

e. Ibu dari ibu (الجدة من جهة الام )

f. Saudara perempuan sekandung (الاخت الشقيقة )

g. Saudara perempuan sebapak (الاخت للأب )

h. Saudara perempuan seibu (الاخت للام ).

i. Istri ( الزوجة )

j. Orang perempuan yang memerdekakan mayit ( المعتقة ).[21]

Bila berkumpul seluruh ahli waris kelompok perempuan tersebut, maka yang berhak menerima warisan hanyalah anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, ibu, dan saudara perempuan kandung atau sebapak, dan istri. Namun demikian, bila berkumpul seluruh ahli waris laki-laki dan perempuan (25 orang ahli waris ada semua), maka yanag berhak menerima warisan hanyalah anak laki-laki, anak perempuan, bapak, ibu, suami atau istri.[22] Sehingga jelas, tidak setiap ahli waris secara otomatis dan berhak mendapat warisan, artinya mereka sangat tergantung pada kedudukan dan kedekatannya dengan si mayyit sebagai al-muwarris (المورث ). Untuk lebih jelasnya, lihat bagan berikut ini :




C. AHLI WARIS: KONSEP NASABIYAH DAN SABABIYAH

Sebagaimana telah penulis singgung pada bagian sebelumnya, bahwa secara garis besar ahli waris (الوارث ) terbagi pada dua kelompok, yaitu ahli waris nasabiyah dan ahli waris sababiyah.

1. Ahli Waris Nasabiyah

Ahli waris nasabiyah adalah ahli waris yang pertalian kekerabatannya kepada al-muwarris didasarkan pada hubungan darah. Ahli waris nasabiyah ini seluruhnya ada 21 orang , terdiri dari 13 orang ahli waris laki-laki dan 8 orang ahli waris perempuan. Untuk memudahkan pemahaman lebih lanjut, akan penulis bahas Ahli waris nasabiyah berdasarkan kelompok dan tingkatan kekerabatannya.

Ahli waris laki-laki, jika didasarkan pada urutan kelompoknya adalah sebagai berikut :[23]

a. Anak laki-laki (الابن )

b. Cucu laki-laki dari anak laki-laki (, ابن الابن) dan seterusnya ke bawah

c. Bapak (, الأب )

d. Kakek dari garis bapak ( الجد من جهة الأب ) dan seterusnya ke atas

e. Saudara laki-laki sekandung (الاخ الشقيق )

f. Saudara laki-laki sebapak (الاخ للأب )

g. Saudara laki-laki seibu (الاخ للام )

h. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung (ابن الاخ الشقيق )

i. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak (, ابن الاخ للأب )

j. Paman sekandung (العم الشقيق )

k. Paman sebapak (العم للأب )

l. Anak laki-laki paman sekandung ( ابن العم الشقيق )

m. Anak laki-laki paman sebapak (ابن العم للأب ).

Adapun ahli waris perempuan semuanya ada 8 orang, yang rinciannya sebagai berikut:

a. Anak perempuan (البنت )

b. Cucu perempuan dari anak laki-laki ( بنت الابن ) dan seterunya ke bawah

c. Ibu ( الام )

d. Nenek dari garis bapak (الجدة من جهة الأب )

e. Nenek dari garis ibu (الجدة من جهة الام )

f. Saudara perempuan sekandung ( الاخت الشقيقة )

g. Saudara perempuan sebapak ( الاخت للأب )

h. Saudara perempuan seibu ( الاخت للام ).[24]

Dari ahli waris nasabiyah tersebut di atas, apabila dikelompokkan menurut tingkat atau kelompok kekerabatanya adalah sebagai berikut :

1) Furû’ al-wâris ( فروع الوارث ), yaitu ahli waris kelompok anak keturunan al-muwarris (المورث ), atau disebut dengan kelompok cabang (al-bunuwwah, البنوة). Kelompok ini adalah ahli waris yang terdekat dan mereka didahulukan dalam menerima warisan. Ahli waris yang termasuk kelompok ini adalah:

a) Anak perempuan (البنت )

b) Cucu perempuan garis laki-laki ( بنت الابن)

c) Anak laki-laki ( الابن )

d) Cucu laki-laki garis laki-laki ( ابن الابن )

2) Usûl al-wâris ( اصول الوارث ), yaitu ahli waris leluhur al-muwarris (المورث ). Kedudukan meskipun sebagai leluhur, tetapi dikelompokkan berada setelah furû’ al-wâris. Mereka adalah:

a) Bapak ( الأب )

b) Ibu ( الام )

c) Kakek garis bapak ( الجد من جهة الأب )

d) Nenek dari garis bapak ( الجدة من جهة الأب )

e) Nenek garis ibu ( الجدة من جهة الام )

3) Al-hawâsyi ( الحواشى ), yaitu ahli waris kelompok samping, termasuk di dalamnya saudara, paman dan keturunanya. Seluruhnya ada 13 orang, yaitu:

a) Saudara perempuan sekandung ( الاخت الشقيقة )

b) Saudara perempuan sebapak (الاخت للأب )

c) Saudra perempuan seibu ( الاخت للام )

d) Saudara laki-laki sekandung ( الاخ الشقيق )

e) Saudara laki-laki sebapak ( الاخ للأب )

f) Saudara laki-laki seibu ( الاخ للام )

g) Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung ( ابن الاخ الشقيق )

h) Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak (ابن الاخ للأب )

i) Paman sekandung ( العم الشقيق )

j) Paman sebapak ( العم للأب )

k) Anak laki-laki paman sekandung (ابن العم الشقيق )

l) Anak laki-laki paman seayah (ابن العم للأب ).[25]

2. Ahli Waris Sababiyah

Ahli waris sababiyah adalah ahli waris yang hubungan kewarisannya timbul karena ada sebab-sebab tertentu, yaitu:[26]

a. Sebab perkawinan (al-musâharah) yaitu suami atau istri.

b. Sebab memerdekakan hamba sahaya (wala’ul ‘ataq).[27]

c. Sebab adanya perjanjian tolong menolong menurut sebagian mazhab Hanafiyah (wala’ul muwalah).[28] (sebab ketiga ini, tidak penulis bahas lebih lanjut).

Sebagai ahli waris sababiyah, mereka dapat menerima bagian warisan apabila perkawinan suami istri itu sah, baik menurut ketentuan hukum agama maupun sipil, dan memiliki bukti-bukti yuridis, artinya secara administratif sah menurut hukum yang berlaku. Demikian juga hubungan kewarisan yang timbul karena sebab memerdekakan hamba sahaya, hendaknya dapat dibuktikan menurut hukum. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahan dan mengada-ada informasi (made-up information), sehingga secara de facto dan de jure dapat dipertanggung jawabkan.

D. FURÛDH AL-MUQADDARAH DAN MACAM-MACAMNYA

Kata al-furûdh (فروض) adalah bentuk jamak dari kata al-fardh (الفرض), artinya bagian atau ketentuan.[29] Para ulama memberikan definisi yang beragam secara redaksional tentang kata al-fardh ini, namun secara substansi memiliki kesamaan persepsi dan maksud, yakni bagian atau ketentuan.

Hasanain Muhammad Makhluf mengemukakan bahwa pengertian fardh adalah : السهم المقدرشرعا للوارث في التركة

“Saham (bagian) yang ditentukan oleh syara’ untuk para ahli waris dalam menerima harta warisan.”[30]

Ahmad Rifa’i Arief mengemukakan arti fardh sebagai berikut:

النصيب المقدر في الشرع لايزيد الا بالرد ولا ينقص الا بالعول

“Bagian yang telah ditetapkan dalam hukum syara’ yang tidak akan bertambah kecuali dalam masalah radd, dan tidak akan berkurang kecuali dalam masalah ‘aul.”[31]

Hal senada juga dikemukakan oleh Hasby Ash-Shiddieqy bahwa fardh adalah “bagian yang sudah ditentukan jumlahnya untuk wâris pada harta peninggalan, baik dengan nash maupun dengan ijma’.”[32]

Dari beberapa pengertian fardh menurut ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa fardh berarti bagian atau ketentuan yang secara bahasa sepadan dengan kata muqaddarah. Sedangkan kata al-muqaddarah (المقدرة) berasal dari kata قدر"” artinya bagian (قسمة) atau ketentuan (نصيب);[33] al-muqaddarah (المقدرة) juga berarti ditentukan besar kecilnya.[34] Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa al-furûdh al-muqaddarah (المقدرة الفروض) adalah bagian-bagian yang telah ditentukan besar kecilnya di dalam al-Qur’an yang tidak bertambah kecuali karena radd dan tidak berkurang kecuali karena ‘aul. Bagian-bagian tersebut itulah yang akan diterima oleh ahli waris menurut jauh dekatnya hubungan kekerabatan.

Adapun macam-macam al-furûdh-muqaddarah (المقدرة الفروض) yang diatur secara rinci di dalam al-Qur’an ada 6 (enam), yaitu:

1. Setengah/separoh (1/2 = al-nisf, النصف )

2. Sepertiga (1/3 = al-sulus, الثلث )

3. Seperempat (1/4 = al-rubu’, الربع )

4. Seperenam (1/6 = al-sudus, السدس )

5. Seperdelapan (1/8 = al-sumun, الثمن )

6. Dua pertiga (2/3 = al-sulusain, الثلثين ).[35]

Dasar hukum al-furûdhh al-muqaddarah (المقدرة الفروض) tersebut adalah terdapat dalam surat an-Nisâ [3] ayat 11-12:

ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( ̍x.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# 4 bÎ*sù £`ä. [ä!$|¡ÎS s-öqsù Èû÷ütGt^øO$# £`ßgn=sù $sVè=èO $tB x8ts? ( bÎ)ur ôMtR%x. ZoyÏmºur $ygn=sù ß#óÁÏiZ9$# 4 Ïm÷ƒuqt/L{ur Èe@ä3Ï9 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB â¨ß¡9$# $£JÏB x8ts? bÎ) tb%x. ¼çms9 Ó$s!ur 4 bÎ*sù óO©9 `ä3tƒ ¼ã&©! Ó$s!ur ÿ¼çmrOÍurur çn#uqt/r& ÏmÏiBT|sù ß]è=W9$# 4 bÎ*sù tb%x. ÿ¼ã&s! ×ouq÷zÎ) ÏmÏiBT|sù â¨ß¡9$# 4 .`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur ÓÅ»qム!$pkÍ5 ÷rr& AûøïyŠ 3 öNä.ät!$t/#uä öNä.ät!$oYö/r&ur Ÿw tbrâôs? öNßgƒr& Ü>tø%r& ö/ä3s9 $YèøÿtR 4 ZpŸÒƒÌsù šÆÏiB «!$# 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã $VJŠÅ3ym ÇÊÊÈ öNà6s9ur ß#óÁÏR $tB x8ts? öNà6ã_ºurør& bÎ) óO©9 `ä3tƒ £`ßg©9 Ó$s!ur 4 bÎ*sù tb$Ÿ2 Æßgs9 Ó$s!ur ãNà6n=sù ßìç/9$# $£JÏB z`ò2ts? 4 .`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur šúüϹqム!$ygÎ/ ÷rr& &úøïyŠ 4 Æßgs9ur ßìç/9$# $£JÏB óOçFø.ts? bÎ) öN©9 `à6tƒ öNä3©9 Ós9ur 4 bÎ*sù tb$Ÿ2 öNà6s9 Ó$s!ur £`ßgn=sù ß`ßJV9$# $£JÏB Läêò2ts? 4 .`ÏiB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur šcqß¹qè? !$ygÎ/ ÷rr& &ûøïyŠ 3 bÎ)ur šc%x. ×@ã_u ß^uqム»'s#»n=Ÿ2 Írr& ×or&tøB$# ÿ¼ã&s!ur îˆr& ÷rr& ×M÷zé& Èe@ä3Î=sù 7Ïnºur $yJßg÷YÏiB â¨ß¡9$# 4 bÎ*sù (#þqçR%Ÿ2 uŽsYò2r& `ÏB y7Ï9ºsŒ ôMßgsù âä!%Ÿ2uŽà° Îû Ï]è=W9$# 4 .`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur 4Ó|»qム!$pkÍ5 ÷rr& AûøïyŠ uŽöxî 9h!$ŸÒãB 4 Zp§Ï¹ur z`ÏiB «!$# 3 ª!$#ur íOŠÎ=tæ ÒOŠÎ=ym ÇÊËÈ

Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.”

Ketentuan tersebut pada dasarnya wajib dilaksanakan, kecuali dalam kasus-kasus tertentu, karena ketentuan tersebut tidak dapat dilaksanakan secara konsisten. Misalnya apabila di dalam pembagian harta warisan terjadi kekurangan harta, maka cara penyelesaiannya adalah masing-masing bagian warisan yang diterima dikurangi secra proporsional, yang secara teknis ditempuh dengan menaikkan angka asal masalah. Masalah ini disebut ddengan masalah ‘aul. Demikian juga apabila terjadi kelebihan harta, maka kelebihan harta tersebut pada prinsipnya dikembalikan kepada ahli waris secara proporsional. Masalah ini disebut dengan radd, yang secara teknis diselesaikan dengan menurunkan angka masalah sebesar dengan jumlah yang diterima ahli waris.[36] Mengenai masalah ‘aul dan radd ini akan disajikan tersendiri oleh pemakalah yang lain.

E. ASHÂB AL-FURÛDH DAN HAK-HAKNYA

Ahli waris zawil furûdh (ذوي الفروض ) atau disebut juga ashâb al-furûdh (اصحاب الفروض ) atau lengkapnya ashâb al-furud al-muqaddarah ( اصحاب الفروض المقدرة ) bagiannya telah ditetapkan secara pasti dalam al-Qur’an dan atau Hadis Nabi saw. Mereka menerima harta warisan dalam urutan pertama. bagian-bagian tertentu dalam al-Qur’an adalah: 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3, dan 1/6.[37] Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ashâb al-furûdh (اصحاب الفروض ) dibedakan menjadi dua, yaitu: ashâb al-furûdh al-nasabiyah (اصحاب الفروض النسبية ) dan ashâb al-furûdh al-sababiyah (اصحاب الفروض السببية ). Adapun bagian masing-masing ashâb al-furûdh adalah sebagai berikut:

1. Anak perempuan ( البنت ); bagiannya adalah:

· 1/2 bila anak perempuan hanya sendiri.

· 2/3 bila anak perempuan ada dua orang atau lebih dan tidak disertai anak laki-laki.

2. Cucu perempuan garis laki (بنت الابن ), bagiannya adalah:

· 1/2 bila cucu perempuan hanya sendirian.

· 2/3 bila cucu perempuan ada dua orang atau lebih dan tidak disertai oleh cucu laki-laki.

· 1/6 sebagai penyempurna 2/3 (takmilah li al-sulusain), jika bersama seorang anak perempuan, tidak ada cucu lai-laki an tidak mahjûb.

3. Ibu ( الام ); bagiannya adalah:

· 1/6 bila bersamanya ada anak atau cucu atau beberapa orang saudara.

· 1/3 bila bersamanya tidak ada anak, cucu atau dua orang saudara.

· 1/3 dari sisa harta, dalam masalah gharrawain[38] bila ia bersama ayah, suami atau istri dan tidak ada bersamanya anak atau cucu.

4. Bapak (الأب ) ; bagiannya adalah:

· 1/6 bila bersamanya ada anak atau cucu.

· Mendapat sisa harta bila bersamanya tidak ada anak atau cucu laki-laki.

· 1/6 dan kemudian mengambil sisa harta bila bersamanya ada anak atau cucu perempuan.

5. Nenek (الجدة من جهة الأب اوالام ); jika tidak mahjûb baik melalui ayah atau ibu, bagiannya:

· 1/6 jika seorang.

· 1/6 dibagi rata apabila nenek lebih dari satu orang dan sederajat kedudukannya.

6. Kakek garis bapak (الجد من جهة الأب ); jika tidak mahjûb bagiannya adalah:

· 1/6 bila bersamanya ada anak atau cucu laki-laki dari garis laki-laki.

· 1/6 + sisa harta, jika bersama anak atau cucu perempuan garis laki-laki dan bersamanya tidak ada anak atau cucu laki-laki.

· 1/6 atau muqâsamah (bagi rata) dengan saudara sekandung atau seayah, setelah diambil untuk ahli waris lain.

· 1/3 atau muqâsamah bersama saudara sekandung atau seayah, jika tidak ada hali waris lain. Masalah ini disebut al-jadd ma’a al-ikhwah (kakek bersama saudara).

7. Saudara perempuan kandung ( الاخت الشقيقة ); jika tidak mahjûb bagiannya adalah:

· 1/2 bila ia hanya seorang saja.

· 2/3 bila ada dua orang atau lebih dan tidak bersama saudara laki-laki sekandung.

8. Saudara perempuan sebapak (الاخت للأب ); jika tidak mahjûb, bagiannya adalah:

· 1/2 bila ia hanya seorang saja.

· 2/3 bila ada dua orang atau lebih dan tidak ada bersama saudara laki-laki sekandung.

· 1/6 bila bersama dengan sauadara perempuan kandung seorang, sebagai pelengkap 2/3 (takmilah li al-sulusain).

9. Saudara perempuan seibu ( الاخت للام ); baik laki-laki atau perempuan kedudukannya sama.[39] Apabila tidak mahjûb, bagiannya adalah:

· 1/6 bila ia hanya seorang saja.

· 1/3 untuk dua orang atau lebih.

· Bergabung menerima bagian 1/3 dengan saudara sekandung, jika bersama-sama dengan ahli waris suami dan ibu. Masalah ini disebut dengan musyârokah.

10. Suami (الزوج ); bagiannya adalah:

· 1/2 bila bersamanya tidak ada anak atau cucu.

· 1/4 bila bersamanya ada anak atau cucu.

11. Istri ( الزوجة ); bagiannya adalah:

· 1/4 bila bersamanya tidak ada anak atau cucu.

· 1/8 bila bersamanya ada anak atau cucu. [40]

Ahli waris yang termasuk ashâb al-furûdh al-nasabiyah (اصحاب الفروض النسبية) di atas adalah nomor urut 1 sampai 9; sedangkan ashâb al-furûdh al-sababiyah (اصحاب الفروض السببية ) adalah nomor urut 10 dan 11. Jika seluruh ahli waris tersebut di atas ada semua, maka dari mereka itu, ahli waris yang dapat menerima bagian adalah :

§ Anak perempuan 1/2

§ Cucu perp. garis laki-laki 1/6

§ Ibu 1/6

§ Bapak 1/6 + sisa

§ Isteri atau suami 1/8 atau 1/4

Apabila ahli waris laki-laki dan perempuan seluruhnya berkumpul, maka ahli waris yang mendapat bagian hanyalah :

§ Anak perempuan

bersama-sama menerima sisa

§ Anak laki-laki

§ Bapak 1/6

§ Ibu 1/6

§ Isteri atau suami 1/8 atau 1/4

Contoh-contoh Kasus:

Seseorang meninggal dunia, dengan ahli waris dan bagiannya (ashâb al-furûdh al-muqaddarah, اصحاب الفروض المقدرة ) sebagai berikut:

· Suami 1/4 (karena ada anak)

· 4 anak perempuan 2/3 ( karena dua orang atau lebih)

· Bapak 1/6 + sisa (karena bersama anak pr.)

· Paman mahjûb oleh bapak

· Nenek garis ibu mahjûb oleh ibu dan bapak

· Ibu 1/6 (karena ada anak)

· Kakek mahjûb oleh bapak

Jadi, ashâb al-furûdh yang mendapat bagian adalah: suami, 4 anak perempuan, bapak, dan ibu.

Seseorang meninggal dunia, dengan ahli waris dan bagiannya (ashâb al-furûdh al-muqaddarah, اصحاب الفروض المقدرة ) sebagai berikut:

· Suami 1/4 (karena ada anak)

· 3 anak perempuan

Bersama menerima ‘ashobah

· 4 anak laki-laki

· Sdr. perempuan sekandung Mahjûb oleh anak

· Bapak 1/6 (karena ada anak)

Jadi, ashâb al-furûdh yang mendapat bagian adalah: suami, 3 anak perempuan, 4 anak laki-laki dan bapak.

Seseorang wafat

meninggalkan anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, dan paman dari pihak bapak.

Anak Perempan

memperoleh 1/2 bagian berdasarkan furûdh.

Cucu perempuan dari anak laki-laki

memperoleh 1/6 bagian berdasarkan ketentuan furûdh, pelengkap 2/3 bagian (jumlah 1/2 + 1/6 bagian).

Paman dari pihak bapak

memperoleh bagian sisa (‘ashabah).

Dari contoh tersebut, dipahami bahwa anak perempuan memperoleh 1/2 bagian; setengah merupakan bagian yang telah ditentukan atau al-furûdh al-muqaddarah (المقدرة الفروض). Cucu perempuan dari anak laki-laki memperoleh 1/6 bagian; seperenam merupakan bagian yang telah ditentukan atau al-furûdh al-muqaddarah (المقدرة الفروض). Sedangkan, paman dari pihak bapak memperoleh sisa bagian (‘ashabah) dan tidak ada ukuran tertentu, dikarenakan tergantung sisa harta setelah dibagikan pada ashâb al-furûdh al-muqaddarah ( اصحاب الفروض المقدرة ).

F. PENUTUP

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa ahli waris (al-wâris) sebagai orang yang berhak menerima warisan dari al-muwarris dapat dikelompokkan menjadi dua; Pertama, ahli waris nasabiyah, yaitu ahli waris karena adanya hubungan nasab atau kekerabatan (al-qarabah); Kedua, ahli waris sababiyah, yaitu ahli waris karena adanya sebab, baik perkawinan (zaujiyah) maupun memerdekakan budak (wala’).

Secara umum ahli waris baik nasabiyah maupun sababiyah, laki-laki dan perempuan berjumlah 25 orang; 15 orang ahli waris laki-laki dan 10 orang ahli waris perempuan. Diantara ahli waris tersebut ada yang mendapat bagian tertentu (al-furûdh al-muqaddarah) berdasarkan al-Qur’an ada enam, yakni 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3, dan 1/6. Ahli waris yang mendapat bagian tertentu itu disebut dengan ashâb al-furûdh atau zawil furûdh. Ashâb al-furûdh اصحاب الفروض) ) terbagi dua, yaitu: ashâb al-furûdh al-nasabiyah (اصحاب الفروض النسبية ) dan ashâb al-furûdh al-sababiyah (اصحاب الفروض السببية ). Jika semua ahli waris yang 25 orang itu ada semua, maka yang berhak mendapat warisan adalah hanaya anak laki-laki, anak perempuan, bapak, ibu, suami atau istri.

Demikian semoga bermanfaat, khudz mâ shafa wa da’ mâ kadara (ambillah yang jernih dan tinggalkan yang keruh). Semoga Allah memberikan ilmu yang bermanfaat pada kita semua, Amien.

oooMtrooo

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama Republik Indonesia, 1989.

A. Hassan, Al-Farâ’idh: Ilmu Pembagian Waris, Surabaya, Pustaka Progressif, 2003.

Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdhor, Kamus Kontemporer: Arab-Indonesia, Yogyakarta, Multi Karya Grafika, 2003.

Anshori, Abdul Ghofur, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, Yogyakarta, UII Press, 2005.

Arief, Ahmad Rifa’i, Taisir al-Ma’sûr fî ‘îlmi al-Farâidh, Tangerang, Ponpes Dâr el-Qalam, t.t.

Ash-Shiddieqy, Hasby T.M., Fiqhul Mawâris, Jakarta, Bulan Bintang, 1973.

------------------, Fiqh Mawaris, Semarang, Pustaka Rizki Putra, 1999.

as-Shabuni, Muhammad Ali, Hukum Waris dalam Syari’at Islam, Bandung, CV. Diponegoro, 1995.

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an dan Hadits, Jakarta, Tinta Mas, 1982.

Jaih Mubarok, Ijtihad Kemanusiaan, Bandung, Pustaka Bani Quraiys, 2005.

Khalifah, Muhammad Thaha Abul Ela, Pembagian Warisan Berdasarkan Syari’at Islam, terj. Tim Kuwais Media Grasindo, Solo, Tiga Serangkai, 2007.

Makhluf, Hasanain Muhammad, Al-Mawâris fî al-Syarî’at al-Islâmiyyah, Kairo, Lajnah al-Bayân al-Araby, 1958.

Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Madzhab, terj. Masykur A.B., Afif Muhammad, dan Idrus Al-Kaff, Jakarta, PT. Lentera Basritama, 2001.

Munawir Syadzali, “Reaktualisasi Ajaran Islam” dalam Tjun Soemardjan (ed.), Hukum Islam di Indonesia, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1994.

Rofiq, Ahmad, Fiqh Mawaris, Jakarta, PT. rajaGrafindo, 2002.

Rusyd, Ibnu, Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtasid, Beirut, Dâr al-Fikr, 1995.

Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, terj. M. Nor Hasanuddin, Lc., Jakarta, Pena Pundi Aksara, jilid 4, 2006.

----------------, Waris Wasiat, disalin oleh Yoesoef Soueyb, Jakarta, Wijaya, 1963.

Syarifuddin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta, Prenada Media, 2003.

Usman, Suparman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris: Hukum Kewarisan Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2002.

Zuhayli, Wahbah Al-, Al-Fiqh al-Islâmiy wa Adillatuhu, Damsyiq Syuriah, Dâr al-Fikr, 1997.



[1] Baca Q.S. An-Nisâ [4]: 33; Terkait dengan hal ini, Muhammad Jawad Mughniyah dalam bukunya “Fiqh Lima Madzhab” menegaskan para ulama madzhab telah sepakat bahwa tirkah (harta peninggalan mayit) beralih kepemilikannya kepada ahli waris sejak kematian, sepanjang tidak ada hutang atau wasiat (Lihat, Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Madzhab, terj. Masykur A.B., Afif Muhammad, dan Idrus Al-Kaff, Jakarta, PT. Lentera Basritama, 2001, hlm. 538).

[2] Baca Q.S. An-Nisâ [4]: 7

[3] Baca Q.S. An-Nisâ [4]: 9.

[4] Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, Yogyakarta, UII Press, 2005, hlm. 16.

[5] Untuk itu, menurut Abdul Ghofur Anshori, paling tidak ada tiga fungsi kewarisan Islam, yaitu: (1) sebagai sarana prevensi kesengsaraan atau kemiskinan ahli waris sepeninggal pewaris; (2) sebagai usaha preventif terhadap kemungkinan penimbunan harta kekayaan yang dilarang oleh agama (QS. An-Nisâ [4]: 37); dan (3) sebagai motivator bagi setiap muslim untuk berusaha dengan giat guna memberikan kebaikan bagi keturunan sepeninggalnya. (Abdul Ghofur Anshori, Ibid, 39).

[6] Muhammad Ali as-Shabuni, Hukum Waris dalam Syari’at Islam, Bandung, CV. Diponegoro, 1995, hlm. 39.

[7] Hazairin berpandangan bahwa hukum waris yang berlaku di Indonesia adalah bersifat patrilineal (garis keturunan laki-laki), dan menganggap para ulama dalam menentukan hubungan garis kewarisan sangat dipengaruhi oleh latar belakang pemahaman terhadap sistem kemasyarakatan yang dianutnya. Konsep bilateral dimaksudkan adalah kebebasan menghubungkan keturunan kepada ayah (patrilineal) atau pada ibu (matrilineal). Lihat Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an dan Hadits, Jakarta, Tinta Mas, 1982, hlm. 11; Juga lihat, Abdul Ghofur Anshori, op.cit., hlm. 77-78.

[8] Reaktualisasi ajaran Islam yang dimaksudkan Munawir Syadzali adalah modifikasi atau penyesuaian ketentuan-ketentuan yang telah dengan jelas digariskan oleh Allah dalam al-Qur’an. Lihat, Munawir Syadzali, “Reaktualisasi Ajaran Islam” dalam Tjun Soemardjan (ed.), Hukum Islam di Indonesia, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1994, hlm. 87; Juga lihat, Jaih Mubarok, Ijtihad Kemanusiaan, Bandung, Pustaka bani Quraiys, 2005, hlm 153-154.

[9] Ahmad Rafiq, Fiqh Mawaris, Jakarta, PT. rajaGrafindo, 2002, hlm. 59.

[10] Ibid; Lihat juga Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, Semarang, Pustaka Rizki Putra, 1999, hlm. 29.

[11] Wafatnya pewaris (muwarris) yang dimaksud adalah dalam pengertian mati secara de facto, artinya benar-benar bisa disaksikan kematiannya; dan pengertian mati secara de jure, yakni kematian yang tidak dapat disaksikan, tetapi berdasarkan keputusan hakim bahwa seseorang telah meninggal. Begitu juga dengan hidupnya ahli waris (al-wâris) yang dimaksud adalah hidup secara de facto, yakni kehidupan seseorang yang dapat dilihat, dirasakan dan hidup berinteraksi dalam kehidupan masyarakat; dan hidup secara de jure, yakni kehidupan bayi dalam kandungan ibunya. (Lihat lebih lanjut dalam Muhammad Thaha Abul Ela Khalifah, Pembagian Warisan Berdasarkan Syari’at Islam, terj. Tim Kuwais Media Grasindo, Solo, Tiga Serangkai, 2007, hlm. 18.

[12] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta, Prenada Media, 2003, hlm. 154.

[13] Ibid

[14] Ahli waris yang sudah ittifaq ulama berjumlah 25 orang, (15 orang laki-laki dan 10 orang perempuan); sedangkan ahli waris yang masih ikhtilâf ulama tentang hak warisnya adalah keluarga terdekat (zul arhâm) yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an tentang bagiannya (fardh) ataupun tentang ‘ushbat; mereka inilah yang dikenal dengan zawil arhâm. lihat, Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris: Hukum Kewarisan Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2002, hlm. 63 dan 65; Ibnu Rusyd, Waris Wasiat, disalin oleh Yoesoef Soueyb, Jakarta, Wijaya, 1963, hlm. 11.

[15] Nasab (keturunan, kekerabatan) menurut Sayyid Sabiq terbagi dua, yaitu nasab hakiki (yang sebenarnya) sebagaimana tercantum dalam QS. Al-A’râf [8]: 75); dan nasab hukmi (wala’), sebagaimana sabda Nabi saw. (رواه ابن حبان والحاكم وصححه) الولاء لمحة كلمحة ا لنسبwala’ itu adalah kerabat seperti kekerabatan karena nasab.” (Lihat, Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, terj. M. Nor Hasanuddin, Lc., Jakarta, Pena Pundi Aksara, jilid 4, 2006, hlm. 484.

[16] Ahmad Rofiq, loc.cit.

[17] Ibid, hlm. 59-60;

[18] Ibid.

[19] Imam Ibn Rusyd mengelompokkan saudara laki-laki sekandung, saudara sebapak, dan saudara seibu menjadi satu. Anak saudara laki-laki sekandung dan sebapak menjadi satu. Paman sekandung dan sebapak menjadi satu. Anak paman sekandung dan sebapak menjadi satu. Saudara perempuan sekandung, sebapak, dan seibu menjadi satu. Nenek dari garis bapak dan garis ibu digabung menjadi satu (Lihat, Ibnu Rusyd, Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtasid, Beirut, Dâr al-Fikr, 1995, hlm. 277-279; juga lihat Ahmad Rofiq, op.cit., hlm. 60).

[20] A. Hassan, Al-Farâ’idh: Ilmu Pembagian Waris, Surabaya, Pustaka Progressif, 2003, hlm. 22-23; Lihat juga, Amir Syarifuddin, op.cit., hlm 159-160; Bandingkan dengan Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, op.cit., hlm. 63-64.

[21] Ibid

[22] Amir Syarifuddin, op.cit., hlm. 162.

[23] Ahmad Rofiq, op.cit., hlm. 61

[24] Ibid, hlm. 62

[25] Ibid, hlm. 63; Bandingkan dengan Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, op.cit., hlm. 67.

[26] Ahmad Rofiq, op.cit., hlm. 64.

[27] Menurut Sayyid Sabiq wala’ul ‘ataq ini adalah kekerabatan yang dihasilkan karena sebab memerdekakan budak (lihat, Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 489).

[28] Wala’ul muwalah adalah hubungan yang disebabkan oleh sumpah setia; artinya hubungan yang terjalin dengan perjanjian yang dibuat oleh dua orang atas kemauan sendiri untuk saling membela serta saling menerima pusaka oleh masing-masing dari yang lain; orang yang pertama dinamakan muwali, sedang yang kedua dinamakan muwala. Hal mini termasuk menjadi sebab pewarisan menurut Abu Hanifah dan Syi’ah Imamiyah, tetapi tidak termasuk sebagai sebab pewarisan menurut Jumhur Ulama (lihat, Ibid, hlm. 426; juga Teungku Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit., hlm. 32).

[29] Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, op.cit., hlm. 65; Ahmad Rofiq, op.cit., hlm. 65.

[30] Hasanain Muhammad Makhluf, Al-Mawâris fî al-Syarî’at al-Islâmiyyah, Kairo, Lajnah al-Bayân al-Araby, 1958, hlm. 37.

[31] Ahmad Rifa’i Arief, Taisir al-Ma’sûr fî ‘îlmi al-Farâidh, Tangerang, Ponpes Dâr el-Qalam, t.t., hlm. 7

[32] Hasby Ash-Shiddieqy T.M., Fiqhul Mawâris, Jakarta, Bulan Bintang, 1973, hlm. 74.

[33] Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhor, Kamus Kontemporer: Arab-Indonesia, Yogyakarta, Multi Karya Grafika, 2003, hlm. 1436.

[34] Ahmad Rofiq, op.cit., hlm. 65

[35] Wahbah Al-Zuhayli, Al-Fiqh al-Islâmiy wa Adillatuhu, Damsyiq Syuriah, Dâr al-Fikr, 1997, hlm. 783; Ahmad Rofiq, loc.cit.; Lihat juga Muhammad Jawad Mughniyah, op.cit., hlm. 550; Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, op.cit., hlm. 66.

[36] Ahmad Rofiq, op.cit., hlm. 66.

[37] Amir Syarifuddin, op.cit., hlm. 163 juga Ahmad Rofiq, loc.cit., hlm. 66; Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 489.

[38] Gharrawain disebut juga ‘Umariyatain, maksudnya adalah dua masalah yang diselesaikan dengan ijtihad Umar bin Khoththâb. (Hal ini akan dibahas oleh pemakalah yang lain).

[39] Menurut Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh Sunnah, bahwa antara saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu dipisahkan, meskipun hak warisnya sama; sehingga jumlah ashâb al-furûdh ada 12 orang; empat orang laki-laki dan delapan orang perempuan (Lihat, Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 489

[40] Lihat Wahbah al-Zuhayli, op.cit, hlm. 7739-7740; Lihat juga Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, op.cit., hlm. 67-71; Lihat juga Amir Syarifuddin, op.cit., hlm. 163-165; Ahmad Rofiq, op.cit., hlm. 67-70.